Nama : Samira Dewi
Kelas : 2DB15
NPM : 38111246
I.
Perkembangan Politik Indonesia
masa Orba , Orla dan Reformasi
1. Konfigurasi Politik
Era Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5
Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante,
diundangkan dengan resmi dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara
1959 No. 69 berintikan penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak
berlakunya lagi UUDS 1950, dan pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar
pertimbangan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya
konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai
sistem demokrasi terpimpin. Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal
5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya dari sudut yuridis konstitusional, sebab
menurut UUDS 1950 Presiden tidak berwenang “memberlakukan” atau “tidak
memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang dilakukan melalui dekrit. Sistem ini
yang mengungkapkan struktur, fungsi dan mekanisme, yang dilaksanakan ini
berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang perwujudannya senantiasa
dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham politik yang ada serta
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat berkembang. Maka problema
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkembang pada
waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat ideologis politik yang penuh
dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi masalah-masalah praktis politik
yang mengandung realitas-realitas objektif serta mengandung pula
kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun secara normatif
ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan sebagai suatu
bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut
ternyata menimbulkan keadaan “excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra
Demokrasi” (berdemokrasi secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun
1950-1959, maupun suatu kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan
menggunakan nama demokrasi yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah
membuahkan sistem multi ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan
multi mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan
DI/TII yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian
Pemilu 1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang
secara perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan
ini berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa :
a.
Gerakan separatis pada
tahun 1957
b.
Konflik ideologi yang
tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi kemacetan
total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959
Oleh karena konflik
antara Pancasila dengan theokratis Islam fundamentalis itu telah mengancam
kelangsungan hidup Negara Pancasila 17 Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit
Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan tujuan kembali ke UUD 1945 yang
kemudian menjadi dialog Nasional yang seru antara yang Pro dan yang Kontra.
Yang Pro memandang dari kacamata politik, sedangkan yang Kontra dari kacamata
Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang
masalah Dekrit Presiden tersebut dapat diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru,
sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 kelak dijadikan salah satu sumber hukum
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang
revolusi yang berlangsung tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan
prolog dari pemberontakan Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan
pelajaran-pelajaran politik yang sangat berharga walau harus kita bayar dengan
biaya tinggi.
2. Era Orde Baru
Orde Baru adalah sebutan
bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia.
Orde Baru menggantikan Orde Lama yang
merujuk kepada era pemerintahan Soekarno.
Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan
yang dilakukan oleh Soekarno pada masa Orde Lama.
Orde Baru berlangsung
dari tahun 1966 hingga 1998.
Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang
pesat meskipun hal ini terjadi bersamaan dengan praktik korupsi yang
merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan
miskin juga semakin melebar.
Pada 1968, MPR secara
resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia
kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993,
dan 1998.
Presiden Soeharto
memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis
mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh
Soekarno pada akhir masa jabatannya.
Salah satu kebijakan
pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB
lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966mengumumkan
bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota
PBB kembali pada tanggal 28 September 1966,
tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.
Pada tahap awal,
Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan
politik - di Eropa Timur sering
disebut lustrasi -
dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia.
Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasauntuk
mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan
digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.
Sanksi nonkriminal
diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif.
Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut
dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).
Orde Baru memilih
perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer. DPR dan MPR tidak
berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan
militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana.
Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Pembagian PAD juga
kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor
kepada Jakarta,
sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.
Soeharto siap dengan
konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II
1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo.
Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwi tujuan, bisa
tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak
lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI,
dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu
menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.
Eksploitasi sumber
daya Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi
dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
3. Era Reformasi
a.
Pemerintahan Habibie
Presiden Habibie segera
membentuk sebuah kabinet. Salah satu tugas pentingnya adalah kembali
mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional dan
komunitas negara-negara donor untuk program pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan
berpendapat dan kegiatan organisasi.
b.
Pemerintahan Wahid
Pemilu untuk MPR, DPR,
dan DPRD diadakan pada 7 Juni1999. PDI Perjuangan pimpinan
putri Soekarno, Megawati Sukarnoputri keluar
menjadi pemenang pada pemilu parlemen dengan mendapatkan 34% dari seluruh
suara; Golkar (partai
Soeharto - sebelumnya selalu menjadi pemenang pemilu-pemilu sebelumnya)
memperoleh 22%; Partai Persatuan Pembangunan pimpinan Hamzah Haz 12%; Partai Kebangkitan Bangsa pimpinan Abdurrahman Wahid (Gus
Dur) 10%. Pada Oktober 1999,
MPR melantik Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan Megawati sebagai wakil
presiden untuk masa bakti 5 tahun. Wahid membentuk kabinet pertamanya, Kabinet Persatuan Nasional pada
awal November 1999 dan melakukan reshuffle kabinetnya pada
Agustus 2000.
Pemerintahan Presiden Wahid meneruskan proses demokratisasi dan perkembangan
ekonomi di bawah situasi yang menantang. Di samping ketidakpastian ekonomi yang
terus berlanjut, pemerintahannya juga menghadapi konflik antar etnis dan antar agama,
terutama di Aceh, Maluku,
danPapua.
Di Timor Barat,
masalah yang ditimbulkan rakyat Timor Timur yang tidak mempunyai tempat tinggal
dan kekacauan yang dilakukan para militan Timor Timur pro-Indonesia
mengakibatkan masalah-masalah kemanusiaan dan sosial yang besar. MPR yang
semakin memberikan tekanan menantang kebijakan-kebijakan Presiden Wahid,
menyebabkan perdebatan politik yang meluap-luap.
c.
Pemerintahan Megawati
Pada Sidang Umum MPR
pertama pada Agustus 2000, Presiden Wahid memberikan laporan pertanggung
jawabannya. Pada 29 Januari2001,
ribuan demonstran menyerbu MPR dan meminta Presiden agar mengundurkan diri
dengan alasan keterlibatannya dalam skandal korupsi. Di bawah tekanan dari MPR
untuk memperbaiki manajemen dan koordinasi di dalam pemerintahannya, dia
mengedarkan keputusan presiden yang memberikan kekuasaan negara sehari-hari
kepada wakil presiden Megawati. Megawati mengambil alih jabatan presiden tak
lama kemudian.Kabinet pada masa pemerintahan Megawati disebut dengan kabinet
gotong royong.
d.
Pemerintahan Yudhoyono
Pada 2004,
pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan Susilo Bambang Yudhoyono tampil
sebagai presiden baru Indonesia. Pemerintah baru ini pada awal masa kerjanya
telah menerima berbagai cobaan dan tantangan besar, seperti gempa bumi besar di Aceh dan
Nias pada Desember 2004 yang
meluluh lantakkan sebagian dari Aceh serta gempa bumi lain pada awal 2005 yang
mengguncang Sumatra.
Pada 17 Juli 2005,
sebuah kesepakatan bersejarah berhasil dicapai antara pemerintah Indonesia
dengan Gerakan Aceh Merdeka yang
bertujuan mengakhiri konflik berkepanjangan selama 30 tahun di wilayah Aceh.
II.
Otonomi Daerah
Istilah
otonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu autosnamos. Kalimat ini terbagi
menjadi dua, autos dan namos autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti
Undang-undang atau aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai
kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat;
1985).
· Pengertian Otonomi daerah menurut
ahli – ahli Lokal :
1.
F. Sugeng Istianto
Otonomi daerah sebagai
hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2.
Letjen (pur) H. Syarwan Hamid
Otonomi daerah
merupakan penyempurnaan dari sistem sentralistis yang diterapkan sebelum era
reformasi. Andai dalam penerapannya, masih terdapat berbagai kekurangan, tidak
layak dijadikan alasan untuk mementahkannya dan kembali ke sistem lama.
3.
Ateng Syarifuddin
Otonomi mempunyai
makna kebebasan atau kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang
terbatas atau kemandirian itu terwujud pemberian kesempatan yang harus
dipertanggungjawabkan.
4.
Aim Abdulkarim
Otonomi daerah
merupakan cara untuk melaksanakan pembangunan sengan sungguh - sungguh sebagai
sarana untuk mewujudkan cita - cita bangsa.
5.
Iyung Pahan
Otonomi daerah
merupakan kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan RepublikIndonesia
6.
Syarif Saleh
Otonomi daerah adalah
hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh dari pemerintah
pusat.
7.
Laila Nagib, Prijono,Tjiptoherijanto
Otonomi daerah
merupakan beberapa aspek dari paradigma politik yang baru yang mengharuskan
kita secara kritis menempatkan perspektif SDM dalam konteks sejarah yang baru
8.
Hadi Wiyono, Isworo
Otonomi daerah
merupakan pancaran kedaulatan rakyat. Otonomi diberikan oleh pemerintah kepada
masyarakat dan sama sekali bukan kepada daerah ataupun pemerintah daerah.
Dengan demikian, pernyataan bahwa otonomi merupakan milik masyarakat berarti
masyarakat tersebut sebagai subjek dan bukannya objek.
· Pengertian Otonomi daerah
menurut Undang –Undang
1.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004
Otonomi daerah
mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
a. Berinisiatif
sendiri yaitu harus mampu menyusun dan melaksanakan kebijaksanaan sendiri.
b. Membuat
peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
c. Menggali
sumber-sumber keuangan sendiri.
d. Memiliki
alat pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
2.
Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
Otonomi daerah adalah
kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat vsetempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3.
Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004
Otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai
peraturan perundang – undangan.
· Kelebihan Otonomi Daerah
1. Mengurangi
bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
2. Dalam
menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat,
sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
3. Dalam
sistem desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan
(spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi
teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan
khusu daerah.
4. Dengan
adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi dapat merupakan
semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan pemerintahan, yang
dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata baik, dapat
diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik dapat dibatasi
pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih muda untuk
diadakan.
5. Mengurangi
kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
6. Dari
segi psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan
yang lebuh beser kepada daerah.
7. Akan
memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang
dilayani.
· Kekurangan Otonomi Daerah
1. Karena
besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah
kompleks, yang mempersulit koordinasi.
2. Keseimbangan
dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah
terganggu.
3. Khusus
mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa
yang disebut daerahisme atau provinsialisme.
4. Keputusan
yang diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang
bertele-tele.
5.
Dalam penyelenggaraan
desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit untuk memperoleh
keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.
Sumber
: